Prof. Dr.
Nazaruddin Sjamsuddin, MA (lahir di
Bireuen,
Aceh,
5 November 1944; umur 67 tahun) adalah mantan Ketua
Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bertugas memantau jalannya
Pemilu di Indonesia untuk periode 2001-2005, dimana
Komisi Pemilihan Umum di
Indonesia untuk pertama kalinya melakukan
pemilihan presiden
secara langsung pada tahun 2004 di bawah pimpinan Nazaruddin
Sjamsuddin. Ia mempunyai empat orang anak hasil perkawinannya dengan
Nurnida Ishak.
Pendidikan dan Karir
Setelah menyelesaikan SD, SMP, dan SMA di Aceh, Nazaruddin memasuki
Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Masyarakat (Bagian IPK yang kini
dikenal sebagai Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) Universitas
Indonesia pada tahun 1963, dan meraih gelar sarjana ilmu politik pada
tahun 1970. Tahun-tahun berikutnya ia habiskan di
Universitas Monash,
Melbourne,
Australia, dan memperoleh gelar M.A. dan Ph. D. dalam ilmu politik.
Karier sebagai pengajar ilmu politik di UI ia rintis sejak 1968
ketika masih sebagai mahasiswa, dan dilanjutkan kembali sepulang kuliah
di Australia dan terus mengabdi pada
Universitas Indonesia
hingga akhirnya diberi gelar Guru Besar dalam ilmu politik pada tahun
1993. Di luar Universitas Indonesia antara lain ia pernah menjadi
wartawan dan kemudian Pemimpin Redaksi
Indonesia Magazine,
peneliti pada Lembaga Riset dan Kebudayaan Nasional (LIPI), dan anggota
kelompok kerja pada perlbagai instansi pemerintahan. Pada tahun 1985 ia
ikut mendirikan
Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) dan pernah menjabat sebagai ketua. Ia juga pernah menjabat sebagai Deputi Bidang Pengkajian dan Pengembangan
BP 7 Pusat, anggota
MPR dan Badan Pekerja MPR, dan karir terakhirnya sebagai ketua
Komisi Pemilihan Umum sejak tahun 2001.
Karya Ilmiah dan Buku
Di antara karya ilmiah yang telah dihasilkannya, selain sejumlah
artikel yang terbit di dalam dan luar negeri, adalah buku PNI dan
Kepolitikannya (1984),
The Republican Revolt
(1985), Integrasi Politik di Indonesia (1989), Pemberontakan Kaum
Republik (1990), dan Dinamika Sistem Politik Indonesia (1993). Di antara
buku yang disuntingnya terdapat Soekarno, Pemikiran Politik dan
Kenyataan Praktek (1988), Masa Depan Kehidupan Politik Indonesia (1988,
bersama Dr Alfian), dan Profil Budaya Politik Indonesia (1991, bersama
Dr Alfian). Pada Maret 2010, Nazaruddin mengeluarkan buku otobiografinya
yang berjudul
Bukan Tanda Jasa, yang berisi pengalaman hidupnya terutama terkait masa-masa kepemimpinannya di
Komisi Pemilihan Umum.
Tersandung Kasus korupsi
Meski Pemilihan Umum 2004 dinilai sukses di kalangan internasional,
para anggotanya yang kebanyakan berasal dari kalangan akademisi, banyak
terseret pada kasus korupsi, yang salah satunya menimpa Nazaruddin
Sjamsuddin. Pada 20 Mei 2005, Nazaruddin ditetapkan sebagai tersangka
dalam kasus dugaan korupsi di KPU. Oleh
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi,
ia dituntut hukuman penjara selama delapan tahun enam bulan, membayar
denda sebesar Rp 450 juta, serta mengganti uang negara sebesar Rp 14,193
miliar. Pada 14 Desember 2005 Pengadilan Tindak Pidana Korupsi lalu
menjatuhinya hukuman penjara selama tujuh tahun pada 14 Desember 2005.
Ia juga diharuskan membayar denda sebesar Rp 300 juta dan membayar uang
pengganti Rp 5,03 miliar secara tanggung renteng dengan Hamdani Amin,
Kepala Biro Keuangan KPU karena dianggap merugikan negara dalam kasus
pengadaan asuransi kecelakaan diri yang dibayarkan untuk para pekerja
pemilu.
Pada 8 Februari 2006, para pengacara Nazaruddin melaporkan Majelis
Hakim kepada Komisi Yudisial. Para pengacara tersebut mengatakan bahwa
dalam memutus perkara, Majelis Hakim telah melanggar Kode Etik Perilaku
Hakim. Antara lain disebutkan bahwa Majelis Hakim telah menyalahi
ketentuan KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) serta
Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi juncto Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas
Undang-Undang No. 31 tahun 1999 dan KUHP. Laporan tersebut sampai kini
(2011) tidak pernah mendapat tanggapan dari Komisi Yudisial. Nazaruddin
bebas bersyarat pada Maret 2008.